Awan hitam sedang menyelimuti kota jogja malam itu sekelebat percikan cahya keluar disertai dentuman kencang, dion hanya asik memainkan smartphonenya, anak kecil berusia 7 tahun ini memang selalu sibuk dengan ponsel pintar yang baru saja di belikan ayahnya, setiap menit tangan dion tidak bisa lepas dari gadget seolah-olah gedgetlah yangg mengendalikannya,memang lumrah di jaman yang cukup maju seperti sekarang ini gadget masuk ke dalam kebutuhan manusia milenial, tapi di balik semua manfaat dan kecanggihannya gadget juga seperti 2 sisi mata pisau dimana dampak negatifnya sering kali tidak kita sadari, dion yang baru mau masuk sekolah dasar menjadi acuh, sulit bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, yang ada di pikirannya hanya gadget dan game,,wajar usia semuda itu hanya ingin bermain tetapi jika hanya permainan virtual itu tidak akan berhasil berkembang. Malam itu dion dan ke dua orang tuanya sedang berlibur di jogja lalu mampir kunjungan eyangnya yang tinggal tidak jauh dari malioboro, eyang dion adalah bekas pemain teater yang cukup terkenal di jogja sekarang hari tuanya dihabiskan dengan menonton radio tua, atau mengurus kebun di belakang Rumah sambil sesekali mengajarkan seni peran di sanggar miliknya, dia tinggal sendirian karna istrinya sudah meninggal saat dion berusia 3 tahun. Pada saat dion sedang memainkan smartphonenya tiba-tiba lampu kamarnya mati disertai bunyi rintik hujan yang perlahan turun. Ayah dion mendatanginya ke kamarnya 

'tadi ayah telpone PLN bilang sedang ada pemadaman bergilir, sepertinya akan lama ayah bawakan lilin ini' kata ayah dion dengan tangan memegang lilin
'yaaa  padahal batre hp ku lowbat, powerbanknya juga ketinggalan di jakarta gimana dong yah?' tanya dion
'yaudah kamu ngobrol aja sama eyang, dari pertama dateng kamu selalu sibuk main lejen terus, udah lama juga kita gak kumpul-kumpul kayak gini apalagi sekarang eyang tinggal sendirian'
'tapi aku gak tau mau ngomong apa'
Ayah dion hanya tersenyum lalu pergi
Dion lalu pergi keluar dan duduk di teras rumah sambil memandangi kota jogja yang berubah gelap, hp ditangannya juga sudah mati. beberapa menit kemudian datang pria tua dengan tongkat dan blankon batik di, eyang dion memang selalu memakai blankon kemana katanya itu bentuk kecintaannya pada indonesia
'dion ngapain di luar nanti masuk angin loh'
'lagi gak ada kerjaan eyang, males diem dikamar aja'
'udah bosen main gamenya ?'
'hp dion mati eyang jadi gak bisa main'
'emm baguslah'
'Bagus apanya eyang?'
'bagus kan kita bisa ngobrol kayak gini'
'ahh eyang, ngomong-ngomong jaman eyang dulu apa seseru jaman sekarang sudah dulu kan belum ada gadget?'
'jelas jauh lebih seru dong jaman eyang dulu kami lebih sering bermain tidak suka permainan kayak dihpmu jadi kalo jatoh beneran sakit tapi semua terasa lebih seru eyang jadi punya lebih banyak teman ini salah satu teman eyang' sambil mengeluarkan foto pria sipit dengan kulit putih bersih
"Siapa itu eyang?" tanya dion
'ini teman baik eyang dulu, kita berteman sudah sejak eyang masih SD'
'dia bisa kungfu gak eyang?'
'hmmm eyang kurang tahu tapi soal berdagang dia jagonya mau eyang ceritain kisahnya?'
'mauu .... mauu .... eyang' dion sangat senang ingin mendengarkan cerita eyangnya

eyang lalu mulai bercerita

Tahun 1967

Seorang anak kecil bertubuh kurus sedang berjalan di pematang sawah siang itu cuaca sangat cerah,soetrisno begitu orang memanggilnya,seperti biasa soetrisno sedang mencari rumput untuk pakan ternak sapinya, sepulang sekolah soetrisno selalu pergi membantu orang tuanya memberi makan ternak-ternaknya, sorenya di habiskan dengan pergi bermain layangan, mengadu gasing, atau bermain gobak sodor. Bahkan saking asiknya bermain soetrisno kecil sering dicari ibunya karna selalu lupa waktu. Singkat cerita saat dia berumur 12 tahun, soetrisno bertemu dengan anak keturunan tionghoa namanya haris, soetrisno dan haris sebenarnya 1 sekolah tapi karna haris tidak terlalu pandai bersosialisasi dia hanya menghabiskan jam istirahat membaca buku di pertpustakaan itulah sebabnya dia jarang terlihat bergaul dengan teman sebayanya. haris selalu menganggap pertemanan itu merepotkan dia hanya berfokus pada kehidupannya sendiri tidak peduli pada orang lain. Siang itu karna lupa mengerjakan PR soetrisno harus membersihkan ruang kelas yang membuatnya pulang terlambat. Saat akan mengambil sepeda tuanya terlihat haris yang sudah sejak tadi berdiri di depan gerbang.
‘kamu nunggu siapa ?’ sapa soetrisno
‘ayahku belum datang katanya dia akan jemput hari ini, tapi dia belum datang juga’
‘kamu gak bisa minta tolong diantar temanmu ?’
‘teman ? aku tidak punya teman. Satu-satunya temanku hanya buku ensiklopedia ini’ sambil menunjukkan buku yang selalu di genggamnya
‘pantas saja jarang ku lihat kau disekolah’
‘ayo aku antar pulang’
‘tapi rumahku lumayan jauh, aku takut jadi merepotkan’
‘hah dasar, ini gunanya teman, lain kali kalo kamu cari teman jangan hanya yang pintar seperti buku itu tapi juga yang mau bertindak nyata’
‘terimakasi yaa, ngomong-ngomong siapa namamu ?’
‘Soetrisno, panggil saja “trisno”’
‘namaku haris’
Pertolongan soetrisno hari itu mengubah pandangan haris tentang pertemanan, trisno mengajarkan bahwa manusia itu terlahir sebagai mahluk sosial sudah seharusnya kita saling peduli pada sesama mahluk hidup, haris hanya tersenyum dan menjadi pendengar saat soetrisno sedang bercerita. Pertemanan mereka terus berlanjut sampai memasuki universitas, yang satu urakan dan yang satu polos, mereka berdua bertolak belakang tapi saling mengisi kekurangan masing-masing soetrisno yang bodoh soal hitung-hitungan dibantu oleh haris karna keluargnya seorang pedagang dia sudah mahir dalam hal seperti itu, sementara haris yang kurang di bagian menyatakan perasaan pada wanita diajarkan oleh soetrisno seribu satu rayuan maut.memang benar kata orang tingkat persahabatan paling tinggi itu adalah saat orang mengira kita sebagai sepasang kekasih. Soetrisno melanjutkan kuliahnya di isntitus seni indonesia ( ISI ) tapi haris harus mengikuti ayahnya dan kuliah di salah satu universitas di jerman, sesekali haris mengirim surat tentang wanita incaran barunya dia meminta beberapa saran dari soetrisno tentang cara menarik hati wanita, beberapa bulan setelah perpisahan dengan haris seotrisno mulai jarang surat menurat dengan haris  dikarenakan kesibukannya dalam dunia seni, dia mulai aktif di dunia seni peran tampil di beberapa event besar. Sepulangnya haris ke indonesia dia menyempatkan mengunjungi sahabat lamanya yang sekarang sudah menjadi idola kaum remaja itu.
‘sekarang kamu sudah jauh berbeda yaa tris’
‘aku rasa hanya kumis ini yang membedakan, bagaimana kabarmu? Sudah berapa wanita yang berhasil kamu taklukan di jerman ?’
Haris terkekeh ‘hmm hanya satu itupun sudah berakhir’
‘sudah aku duga nasibmu selalu sial soal urusan wanita’
‘sudahlah, lalu kamu sendiri apa kabar ? aku dengar sekarang kamu sudah punya banyak fans’
‘hanya beberapa ibu-ibu muda  yang suka melihat aktingku di teater’
‘lalu pacarmu ?’
‘sudah lama aku berpisah dengan ajeng, kau tau sendiri laki-laki seperti aku sulit diterima di mata orang tuanya ajeng, yang mereka mau hanya orang-orang berdasi’
‘sepertinya nasibmu tidak kalah sial dengan ku’ haris meledek
‘lalu apa yang akan kamu lakukan setelah selesai kuliah ?’
‘aku akan ke jakarta dan membuka toko di sana, yaa masih kecil-kecilan’
‘sepertinya sejak pergi jauh-jauh kuliah keluar negeri bakatmu tidak jauh dari berdagang’
‘yaa begitulah berdagang sudah menjadi DNA ku’
Beberapa bulan setelah pertemuan itu haris membuka sebuah toko sembako di jakarta, haris lalu mengirimi fotonya berdiri di depan toko miliknya kepada soetrisno, kawan lamanya itu sangat senang mendengar usaha haris berjalan lancar. Dia makin bersemangat untuk bermain teater dan mengumpulkan uang mengunjungin temannya di jakarta.

Mei 1998

Kekacauan terjadi di jakarta semua media memberitakan bahwa di jakarta sedang terjadi penjarahan dan perusakan massa yang di picu tewasnya 4 mahasiswa tri sakti, soetrisno yang mendengar kabar itu berusaha menghubungi haris namun tidak ada jawaban, dia lalu berangkat ke jakarta ditemani beberapa teman menuju ke alamat yang dulu sempat di berikan haris, sialnya toko haris sudah berubah menjadi puing-puing yang hangus terbakar, soetrisno mencoba mencari tahu keberadaan haris lewat warga sekitar namun semua tidak ada yang tahu, bahkan ada beberapa orang yang hilang entah kemana dan belum kembali. peristiwa itu sangat membekas dihati soetrisno.

'lalu kenama perginya teman kakek haris itu?'
'entahlah mungkin dia sedang duduk menunggu eyang ' sambil menunjuk langit yang mulai berbintang
'emm aku juga berharap bisa memiliki teman seperti haris'
Soetrisno tersenyum dan memeluk cucu kecilnya ' pasti setiap orang punya teman baik mungkin belum memenuhi saja'
'Kalau begitu mulai sekarang aku akan lebih sering main dengan teman-teman suka bersenang-senang punya banyak teman'
Hujan mulai reda saat cerita soetrisno berakhir, seolah langit menjadi pengiring dalam cerita sedih itu, seketika listrik hidup kembali di tengah malam berbintang kota jogja menampakkan keindahannya,
Ibu dion 'dion sini kita makan malam dulu ajak eyang juga yaa'
'iyaa buk' jawab dion lalu berdiri memegang tangan eyangnya yang masih sibuk memandang langit
'ayokk eyang kita makan' ajak dion
'sudah tiba makan malam yaa eyang sampai lupa hehe' soetrisno terkekeh
Begitulah waktu kadang-kadang ditolak, di cari atau bahkan di lupakan, tapi yang menarik waktu tidak bisa di putar, percaya atau tidak waktu yang akan mendorong kita menjadi lebih baik di setiap detiknya, membuat kita belajar dari kesalahan yang telah kita lewati, coba setiap prosesnya membuat kita berevolusi menjadi manusia yang lebih baik.
Jadi sudahkah kamu memenangkan waktu?





0 Comments